Antara Hak Tanah dan Hak Peristirahatan: Potret Sengketa Tanah Kuburan di Nagan Raya yang Kian Memanas
Suka Makmue - Di bawah rindangnya pohon besar yang menaungi sebagian area pemakaman tua di Desa Blang Teungeuh, Kecamatan Kuala, Nagan Raya, puluhan warga tampak memadati sebuah balai kuburan sesekali menatap ke jalan yang dipadati oleh warga lainya dengan kobaran api di depan mereka.
Api itulah yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi simbol ketegangan antara warga dan pihak yang mengklaim kepemilikan sah atas lahan pemakaman tersebut.
Di tempat yang seharusnya menyimpan ketenangan, perdebatan mengenai siapa yang paling berhak atas tanah justru semakin memanas.
Warga khawatir bahwa sengketa berkepanjangan ini akan mengganggu makam orang tua, kerabat dan sanak saudara mereka, sebuah kekhawatiran yang tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga berkaitan dengan identitas dan sejarah.
Akar Konflik
Sengketa ini dipicu oleh adanya dua klaim berbeda atas tanah. Menurut pengakuan warga sejak puluhan tahun terakhir tanah tersebut sudah digunakan sebagai Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Pihak tergugat menyatakan memiliki dokumen jual beli tanah yang sah sejak Tahun 2012. Sedangkan pihak penggugat sebaliknya mengaku mewarisi tanah tersebut dari orang tuanya jauh sebelum adanya proses transaksi jual beli itu berlangsung.
Dalam kurun waktu 13 tahun, upaya mediasi telah dilakukan oleh pihak pihak terkait namun tidak pernah mencapai kesepakatan. Masing-masing pihak bersikeras mempertahankan klaim mereka.
Berujung ke Meja Hijau
Karena tidak menemukan jalan tengah, kasus ini kemudian dibawa ke Pengadilan Negeri Suka Makmue berupa gugatan perdata hingga dimenangkan oleh pihak penggugat dengan nomor perkara 1/Pdt.G/2023/PN SKM tertanggal 15 September 2023. Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh melalui putusan Nomor 111/PDT/2023/PT BNA tertanggal 5 Desember 2023. Setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht), penggugat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (PN) Suka Makmue.
Putusan ini sontak memicu reaksi keras dari puluhan warga termasuk pihak tergugat, dimana mereka mengaku telah membeli tanah tersebut secara sah dan selama puluhan tahun tanpa ada sengketa dengan pihak manapun.
Ketegangan di Lapangan Menjelang Eksekusi
Jadwal eksekusi yang direncanakan pada hari Kamis, 20 September 2025 menambah kekhawatiran puluhan warga dan pihak tergugat. Aparat keamanan dari Polres Nagan Raya dikerahkan untuk mengantisipasi potensi gesekan. Beberapa warga dilokasi mengaku sulit tidur memikirkan kemungkinan yang akan terjadi ketika eksekusi itu dilakukan. Kemungkinan terbesar dipastikan akan bentrok antara aparat dengan warga. Sementara itu, pihak yang menang di pengadilan menegaskan bahwa mereka hanya menuntut hak yang telah diakui secara hukum.
Perspektif Warga: Realita yang Dirasakan di Lapangan
Dari puluhan warga yang hadir, M Amir (57) dan Salmi (47) menjadi dua sosok yang paling aktif memberikan keterangan mengenai situasi dilapangan. Keduanya menuturkan, bahwa mereka bersama puluhan warga lainya berkomitmen terus berada di lapangan guna menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap proses eksekusi tanah tersebut.
M Amir menegaskan, pihak warga perlu mengklarifikasi tentang kabar yang dimunculkan pihak penggugat bahwa bukan tanah kuburan yang disengketakan melainkan tanah 8x30 meter.
“Lahan 8x30 klaim penggugat telah masuk dalam sketsa tanahnya, padahal tidak, jika tanah 8x30 itu kami serahkan, jelas-jelas tanah kuburan diluar sengketa juga diklaim milik penggugat, maka yang sedang kami pertahankan sekarang adalah lahan seluas 8x30 tersebut juga merupakan tanah kuburan,” terangnya.
Disisi lain, masyarakat juga mengaku kecewa terhadap penggugat. Sebab beberapa waktu lalu diantara kedua belah pihak telah membuat kesepakatan bersama agar perkara ini selesai.
Namun, beberapa waktu setelah surat tersebut disepakati, pihak tergugat menerima surat pemberitahuan perintah eksekusi oleh Pengadilan Negeri Suka Makmue melalui Jurusita.
“Kami sangat kecewa atas upaya eksekusi tanah tersebut, padahal beberapa waktu yang lalu sudah ada kesepakatan bersama yang tertuang dalam surat pernyataan dibuat dan melibatkan sejumlah pihak seperti pihak kepolisian Polsek kuala, termasuk keluarga penggugat,” seru M Amir didampingi Salmi dilokasi.
Padahal tambahnya, surat tersebut dibuat turut disaksikan oleh puluhan warga dan ahli waris dari penggugat, yang isi didalamnya menyatakan bahwa pihak penggugat berjanji tidak akan menggunakan tanah sengketaa tersebut untuk pribadi.
“Kami dan puluhan warga lain sudah berfikir kalau perkara ini selesai, tapi nyatanya dilapangan masih ada upaya eksekusi, maka kami tegaskan sampai kapanpun kami menolak,” ujarnya.
Warga berharap kepada pihak terkait agar meninjau kembali putusan tersebut, sehingga potensi gesekan antara masyarakat dengan pihak pihak lain tidak terjadi.
Penjelasan Resmi dan Sikap Kuasa Hukum Penggugat
Menanggapi polemik kericuhan terjadi saat masyarakat menghadang tim eksekusi dari Pengadilan Negeri (PN) Suka Makmue.
Kuasa Hukum penggugat Khairuman mengatakan, kericuhan yang telah terjadi dipicu adanya isu yang menyebutkan bahwa lahan yang akan dieksekusi termasuk area kuburan.
Khairuman membantah keras kabar tersebut. Menurutnya, informasi yang menyebutkan bahwa eksekusi mencakup area makam merupakan kabar yang tidak benar dan telah memicu kesalahpahaman di tengah masyarakat.
“Kami tegaskan, tidak ada kuburan atau makam yang masuk ke dalam objek eksekusi,” ungkap Khairuman.
Ia menegaskan, perkara ini secara hukum sudah sah dimenangkan oleh kliennya yaitu M. Ali Hasyimi sebagai Penggugat.
Bahkan lajutnya, PN Suka Makmue sudah dua kali aanmaning atau teguran kepada para Termohon Eksekusi. Namun, para Termohon tidak pernah hadir memenuhi panggilan tersebut.
Selanjutnya, pengadilan melaksanakan konstatering atau pencocokan objek sengketa pada 25 Februari 2025, dan kemudian melakukan sita eksekusi pada 18 September 2025.
“Dalam pelaksanaan sita eksekusi itu, Ketua PN melalui Panitera sudah menyampaikan bahwa pihak-pihak yang merasa keberatan diberi waktu delapan hari untuk mengajukan sanggahan resmi. Tapi sampai waktu itu berakhir, tidak ada satu pun pihak yang mengajukan keberatan. Artinya, semua proses hukum telah dilalui dengan sah,” ujar Khairuman.
Khairuman juga menjelaskan, objek yang disengketakan merupakan tanah baru yang dibeli oleh Termohon Eksekusi I atas nama Syawali berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 383/2012 dan Surat Keterangan Nomor 743/SP/XI/2012 tertanggal 10 Juli 2012.
Namun, dalam persidangan, bukti kepemilikan yang diajukan Termohon dinilai tidak sah oleh pengadilan dan dikesampingkan, sehingga tanah tersebut secara hukum menjadi milik Pemohon Eksekusi.
“Bukti-bukti telah diuji di ruang sidang dan pengadilan memutuskan bahwa hak kepemilikan berada di pihak kami. Jadi, klaim bahwa itu tanah makam sama sekali tidak berdasar,” tegasnya.
Klarifikasi terkait adanya surat kesepakatan bersama, pihaknya menegaskan kliennya sebagai penggugat tidak pernah hadir pada saat surat tersebut dibuat.
“Atas nama penggugat tidak hadir pada saat itu, yang hadir hanya anaknya, berikut mereka tidak ada kapasitas dalam mengambil keputusan terhadap apa yang mereka putuskan,” pungkasnya.
Oleh karena itu, guna menghormati putusan pengadilan yang sudah diakui secara hukum, pihaknya meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas dan terukur agar proses eksekusi dapat dilaksanakan.
“Kita minta kepada pihak penegak hukum, jika eksekusi itu tidak bisa dengan cara suka rela, kita berharap ada upaya paksa untuk menyerahkan, karena ini menyangkut dengan keputusan Negara, keputusan wakil Tuhan, jangan sampai keputusan ini diobrak abrik oleh segelintir orang,” tutupnya.
Saat ini, semua pihak masih menanti jalan terbaik. Warga berharap suara mereka didengar. Penggugat berharap hak mereka dihormati. Sementara aparat keamanan berupaya agar konflik tidak berkembang menjadi gejolak sosial.
Di tengah semua itu, tanah pemakaman tetap berdiri dalam keheningannya menanti keputusan manusia yang hidup, sementara mereka yang telah pergi hanya bisa diam.
Editor: Basriadi